Sabtu, 06 Juni 2009
Sunan Drajat
Sunan Drajat

Sunan Drajat adalah putera Sunan Ampel dengan Dewi Candrawati. Adiknya bernama Raden Makdum Ibrahim yang dikenal dengan nama Sunan Bonang. Nama Asli Sunan Drajat adalah Raden Qosim diminta ayahnya untuk berdakwah di sebelah barat Gresik. Di sana belum ada ulama yang menyebarkan agama Islam. Sebelum memulai perjalanan, Raden Qosim singgah di pesantren Sunan Giri di Gresik untuk memohon restu. Ia kemudian naik perahu menuju ke arah barat. Semula angin laut mendorong perahu dengan tenang. Tiba-tiba topan bertiup kencang. Dalam sekejap mata, topan itu menjadi badai yang dahsyat. Kilat sambung-menyambung.

Raden Qosim tak henti-hentinya berzikir. Perahu yang ditumpangi Raden Qosim akhirnya di hantam gelombang besar. Perahu itu oleng, lalu menghantam batu karang dengan keras. Ketika perahu menghantam karang, datanglah seekor ikan talang menghampiri Raden Qosim. Tadinya, ikan itu dikira serpihan badan kapal yang hancur. "hamba datang karena melihat perahu Raden Qosim mengalami musibah. Hamba hendak mengantar Raden ke tempat tujuan. Ke manakah Raden akan pergi"? tanya ikan talang. Raden Qosim menjelaskan bahwa ia kan pergi ke desa Jelag di daerah Banjarwati. "Baiklah, hamba akan mengantarkan Raden," kata ikan talang,. Raden Qosim berterima kasih seraya naik ke punggung ikan talang. Akhirnya ia tiba dengan selamat di daerah Banjarwati, kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan.

"Terima kasih wahai ikan talang, semoga Allah membalas kebaikanmu. Aku berjanji agar anak keturunanku tidak mengganggumu apalagi makan dagingmu. Bila mereka melanggar janji ini, mereka akan terkena penyakit yang tak tersembuhkan," ujar Raden Qosim. Sesampainya di darat, Raden Qosim bersujud syukur atas perlindungan Allah.

Kedatangan Raden Qosim disambut dengan gembira oleh masyarakat, lebih-lebih setelah mengetahui bahwa ia adalah putera Sunan Ampel. Raden Qosim lalu mendirikan surau sebagai tempat berdakwah. Caranya berdakwah luwes dan ramah. Setelah menetap selama setahun, Raden Qosim melanjutkan kegiatan dakwahnya ke sebelah selatan. Tiga tahun kemudian, ia mendapat petunjuk Allah untuk membangun tempat berdakwah yang lebih besar. Tempat yang dipilihnya agak tinggi, karena itu dinamai Dalem Dhuwur. Kalau Raden Qosim kemudian disebut Sunan Drajat, hal itu bukan saja karena pesantrennya yang ada di atas bukit, namun juga karena derajat ilmunya yang tinggi.

Sunan Drajat adalah wali yang hidupnya sangat sederhana. Walaupun demikian, ia tetap berusaha mencari rizki, yang kemudian digunakannya untuk membantu orang-orang yang lebih membutuhkan. Maka ia dikenal sebagai wali yang sangat dermawan. Di antara ajaran-ajarannya, yang terkenal adalah sebagai berikut :

Berilah tongkat bagi yang buta
Berilah makan bagi yang kelaparan
Berilah pakaian bagi yang telanjang
Berilah tempat berteduh kepada yang kehujanan

Sunan Drajat menggunakan kesenian daerah untuk berdakwah. Di museumnya, tersimpan seperangkat gamelan yang pernah dipakainya. Sunan Drajat juga telah menciptakan Gending Pangkur yang hingg kini masih disukai orang-orang Jawa.

Maksud ajaran Sunan Drajat itu adalah : Pertama, agar kita sebagai manusia suka memberi petunjuk kepada yang tidak tahu atau tidak mengerti suatu hal. Memberikan pengertian dengan sabar dan telaten adalah satu cara yang harus digunakan orang tua dan guru untuk mendidik anak-anak.

Kedua, hendaklah kita dengan tulus ikhlas memberi pertolongan kepada yang miskin atau kekurangan makan, tanpa memperhatikan suku, agama, asal usul dan keturunan. Bantuan itu, Insya Allah, akan menghindarkan orang dari perbuatan jahat yang dilarang agama.

Nasihat ketiganya ialah ajakan bagi orang-orang yang belum berperilaku sopan santun dan lemah lembut. Dalam kehidupan sehari-hari, kita tentu sering menemu orang yang kasar, kurang sopan, tidak acuh pada orang lain dan suka mementingkan diri sendiri. Menjadi tugas kitalah untuk memberi contoh bagaimana bersikap sayang, sopan dan menghargai orang lain.

Nasihat keempat Sunan Drajat ialah bila ada orang yang ditimpa bencana, kesulitan atau menderita kekurangan, hendaklah kita dengan senang hati memberi bantuan dan perlindungan.

Sesungguhnya, empat ajaran Sunan Drajat adalah hal yang perlu dilaksanakan setiap orang. Pemeluk agama apa pun seyogianya berusaha untuk melaksanakan ajaran itu. Terlebih para orang tua, guru maupun para pemimpin, agar mereka dapat menjadi teladan bagi anak-anak dan rakyat kecil.

Moral : Bila hidup di tengah masyarakat, hendaklah kita selalu menunjukkan sifat dermawan, kasih sayang, mau membantu orang yang menderita dan bersedia memberikan bimbingan kepada orang yang belum mengetahui kebenaran.

Label:


Baca Selengkapnya di Sini!!!!
posted by Wisma Kalingga Community @ 11.34   0 comments
Semut dan kepompong

Di suatu hutan yang rindang, hidup berbagai binatang buas dan jinak. Ada kelinci, burung, kucing, capung, kupu-kupu dan yang lainnya. Pada suatu hari, hutan dilanda badai yang sangat dahsyat. Angin bertiup sangat kencang, menerpa pohon dan daun-daun. Kraak…terdengar bunyi dahan-dahan berpatahan. Banyak hewan yang tidak dapat menyelamatkan dirinya, kecuali si semut yang berlindung di dalam tanah. Badai baru berhenti ketika pagi menjelang. Matahari kembali bersinar hangatnya.

Tiba-tiba dari dalam tanah muncul seekor semut. Si semut terlindung dari badai karena ia bisa masuk ke sarangnya di dalam tanah. Ketika sedang berjalan, ia melihat seekor kepompong yang tergeletak di dahan daun yang patah. Si semut bergumam,”Hmm, alangkah tidak enaknya menjadi kepompong, terkurung dan tidak bisa kemana-mana”. “Menjadi kepompong memang memalukan!” “Coba lihat aku, bisa pergi ke mana saja ku mau”, ejek semut pada kepompong. Semut terus mengulang perkataannya pada setiap hewan yang berhasil ditemuinya.

Beberapa hari kemudian, semut berjalan di jalan yang berlumpur. Ia tidak menyadari kalau lumpur yang diinjaknya bisa menghisap dirinya semakin dalam.“Aduh, sulit sekali berjalan di tempat becek seperti ini,” keluh semut. Semakin lama, si semut semakin tenggelam dalam lumpur. “Tolong…tolong,” teriak si semut.

“Wah, sepertinya kamu sedang kesulitan ya…?” Si semut terheran mendengar suara itu. Ia memandang kesekelilingnya mencari sumber suara. Dilihatnya seekor kupu-kupu yang indah terbang mendekatinya. “Hai, semut aku adalah kepompong yang dahulu engkau ejek. Sekarang aku sudah menjadi kupu-kupu. Aku bisa pergi ke mana saja dengan sayapku. Lihat… sekarang kau tidak bisa berjalan di lumpur itu kan?” Yah, aku sadar…. Aku mohon maaf karena telah mengejekmu. Maukah kau menolongku sekarang…?” kata si semut pada kupu-kupu.

Akhirnya kupu-kupu menolong semut yang terjebak dalam lumpur penghisap. Tidak berapa lama, semut terbebas dari lumpur penghisap tersebut. Setelah terbebas, semut mengucapkan terima kasih pada kupu-kupu. “Tidak apa-apa, memang sudah kewajiban kita untuk menolong yang sedang kesusahan bukan?, karenanya kamu jangan mengejek hewan lain lagi ya…? Karena setiap makhluk pasti diberikan kelebihan dan kekurangan oleh yang Maha Pencipta. Sejak saat itu, semut dan kepompong menjadi sahabat karib.

Moral : Sesama makhluk ciptaan Tuhan, janganlah saling mengejek dan menghina, karena siapa tahu yang dihina lebih baik kedudukannya daripada yang menghina.


Baca Selengkapnya di Sini!!!!
posted by Wisma Kalingga Community @ 11.23   0 comments
Sungai Jodoh

Pada suatu masa di pedalaman pulau Batam, ada sebuah desa yang didiami seorang gadis yatim piatu bernama Mah Bongsu. Ia menjadi pembantu rumah tangga dari seorang majikan bernama Mak Piah. Mak Piah mempunyai seorang putri bernama Siti Mayang. Pada suatu hari, Mah Bongsu mencuci pakaian majikannya di sebuah sungai. “Ular…!” teriak Mah Bongsu ketakutan ketika melihat seekor ulat mendekat. Ternyata ular itu tidak ganas, ia berenang ke sana ke mari sambil menunjukkan luka di punggungnya. Mah Bongsu memberanikan diri mengambil ular yang kesakitan itu dan membawanya pulang ke rumah.

Mah Bongsu merawat ular tersebut hingga sembuh. Tubuh ular tersebut menjadi sehat dan bertambah besar. Kulit luarnya mengelupas sedikit demi sedikit. Mah Bongsu memungut kulit ular yang terkelupas itu, kemudian dibakarnya. Ajaib… setiap Mah Bongsu membakar kulit ular, timbul asap besar. Jika asap mengarah ke Negeri Singapura, maka tiba-tiba terdapat tumpukan emas berlian dan uang. Jika asapnya mengarah ke negeri Jepang, mengalirlah berbagai alat elektronik buatan Jepang. Dan bila asapnya mengarah ke kota Bandar Lampung, datang berkodi-kodi kain tapis Lampung. Dalam tempo dua, tiga bulan, Mah Bongsu menjadi kaya raya jauh melebih Mak Piah Majikannya.

Kekayaan Mah Bongsu membuat orang bertanya-tanya.. “Pasti Mah Bongsu memelihara tuyul,” kata Mak Piah. Pak Buntal pun menggarisbawahi pernyataan istrinya itu. “Bukan memelihara tuyul! Tetapi ia telah mencuri hartaku! Banyak orang menjadi penasaran dan berusaha menyelidiki asal usul harta Mah Bongsu. Untuk menyelidiki asal usul harta Mah Bongsu ternyata tidak mudah. Beberapa hari orang dusun yang penasaran telah menyelidiki berhari-hari namun tidak dapat menemukan rahasianya.

“Yang penting sekarang ini, kita tidak dirugikan,” kata Mak Ungkai kepada tetangganya. Bahkan Mak Ungkai dan para tetangganya mengucapkan terima kasih kepada Mah Bongsu, sebab Mah Bongsu selalu memberi bantuan mencukupi kehidupan mereka sehari-hari. Selain mereka, Mah Bongsu juga membantu para anak yatim piatu, orang yang sakit dan orang lain yang memang membutuhkan bantuan. “Mah Bongsu seorang yang dermawati,” sebut mereka.

Karena merasa tersaingi, Mak Piah dan Siti Mayang, anak gadisnya merasa tersaingi. Hampir setiap malam mereka mengintip ke rumah Mah Bongsu. “Wah, ada ular sebesar betis?” gumam Mak Piah. “Dari kulitnya yang terkelupas dan dibakar bisa mendatangkan harta karun?” gumamnya lagi. “Hmm, kalau begitu aku juga akan mencari ular sebesar itu,” ujar Mak Piah.

Mak Piah pun berjalan ke hutan mencari seekor ular. Tak lama, ia pun mendapatkan seekor ular berbisa. “Dari ular berbisa ini pasti akan mendatangkan harta karun lebih banyak daripada yang didapat oleh Mah Bongsu,” pikir Mak Piah. Ular itu lalu di bawa pulang. Malam harinya ular berbisa itu ditidurkan bersama Siti Mayang. “Saya takut! Ular melilit dan menggigitku!” teriak Siti Mayang ketakutan. “Anakku, jangan takut. Bertahanlah, ular itu akan mendatangkan harta karun,” ucap Mak Piah.

Sementara itu, luka ular milik Mah Bongsu sudah sembuh. Mah Bongsu semakin menyayangi ularnya. Saat Mah Bongsu menghidangkan makanan dan minuman untuk ularnya, ia tiba-tiba terkejut. “Jangan terkejut. Malam ini antarkan aku ke sungai, tempat pertemuan kita dulu,” kata ular yang ternyata pandai berbicara seperti manusia. Mah Bongsu mengantar ular itu ke sungai. Sesampainya di sungai, ular mengutarakan isi hatinya. “Mah Bongsu, Aku ingin membalas budi yang setimpal dengan yang telah kau berikan padaku,” ungkap ular itu. “Aku ingin melamarmu dan menjadi istriku,” lanjutnya. Mah Bongsu semakin terkejut, ia tidak bisa menjawab sepatah katapun. Bahkan ia menjadi bingung.

Ular segera menanggalkan kulitnya dan seketika itu juga berubah wujud menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa. Kulit ular sakti itu pun berubah wujud menjadi sebuah gedung yang megah yang terletak di halaman depan pondok Mah bongsu. Selanjutnya tempat itu diberi nam desa “Tiban” asal dari kata ketiban, yang artinya kejatuhan keberuntungan atau mendapat kebahagiaan.

Akhirnya, Mah Bongsu melangsungkan pernikahan dengan pemuda tampan tersbut. Pesta pun dilangsungkan tiga hari tiga malam. Berbagai macam hiburan ditampilkan. Tamu yang datang tiada henti-hentinya memberikan ucapan selamat.

Dibalik kebahagian Mah Bongsu, keadaan keluarga Mak Piah yang tamak dan loba sedang dirundung duka, karena Siti Mayang, anak gadisnya meninggal dipatok ular berbisa.

Konon, sungai pertemuan Mah Bongsu dengan ular sakti yang berubah wujud menjadi pemuda tampan itu dipercaya sebagai tempat jodoh. Sehingga sungai itu disebut “Sungai Jodoh”.

Moral : Sikap tamak, serakah akan mengakibatkan kerugian pada diri sendiri. Sedang sikap menerima apa adanya, mau menghargai orang lain dan rela berkorban demi sesama yang membutuhkan, akan berbuah kebahagiaan.

Label:


Baca Selengkapnya di Sini!!!!
posted by Wisma Kalingga Community @ 11.16   0 comments
Kali Gajahwong
ALkisah disebutkan, Kerajaan Mataram pernah berpusat di Kotagede, kurang lebih 7 kilo­me­ter arah tenggara kota Yogyakarta. Pada waktu itu Kerajaan Mataram dipimpin oleh Sultan Agung yang mempunyai beriburibu prajurit, termasuk pasukan berkuda dan pasukan gajah. Kanjeng sultan juga mempunyai abdi dalemabdi dalem yang setia. Di antara abdi dalem itu terdapat seorang srati, bernama Ki Sapa Wira.Setiap pagi, gajah Sultan yang bernama Kyai Dwipangga itu selalu di­mandi­kan oleh Ki Sapa Wira di sungai di dekat Kraton Mataram. Oleh karena itu, gajah dari Negeri Siam itu selalu menurut dan ter­biasa dengan perlakuan lembut Ki Sa­pa Wira. Pada suatu hari, Ki Sapa Wira sakit bisul di ketiaknya sehingga ia tidak bisa bergerak bebas, apalagi harus beker­ja memandikan gajah. Oleh karena itu, Ki Sapa Wira menyuruh adik iparnya yang bernama Ki Kerti Pejok untuk menggantikan pekerjaannya. Sebenarnya, nama asli Ki Kerti Pejok adalah Kertiyuda. Namun kare­na terkena penyakit polio sejak lahir sehingga kalau berjalan meliuk-liuk pin­cang atau pejok menurut istilah Jawa, maka ia pun dipanggil Kerti Pejok.

“Tolong gantikan aku memandikan Kyai Dwipangga, Kerti”, kata Ki Sapa Wira.

“Baik, Kang”, jawab Ki Kerti. “Tapi ba­gai­mana jika nanti Kyai Dwipangga tidak mau berendam, Kang?” sambungnya.

“Biasanya aku tepuk kaki belakangnya, lalu aku tarik buntutnya”, jawab Ki Sapa Wira.

Pagi itu Ki Kerti sudah berangkat me­­nuju sungai bersama Ki Dwipangga. Ba­dan gajah itu dua kali lipat badan ker­bau, belalainya panjang, dan gadingnya ber­warna putih mengkilat. Ki Kerti Pejok mem­bawakan dua buah kelapa muda un­tuk makanan Ki Dwipangga agar gajah itu patuh kepadanya.

"Nih, ambillah untuk sarapan..." cele­tuk Ki Kerti sambil melemparkan sebuah kelapa muda ke arah Ki Dwipangga.

"Prak..." kelapa itu ditangkap oleh Ki Dwi­­pang­ga dengan belalainya lalu di­banting pada batu besar di pinggir jalan. Dua buah kelapa sudah terbelah, dan Ki Dwipangga memakannya dengan lahap. Belum habis kelapa yang kedua, Ki Kerti sudah menyuruh Ki Dwipangga untuk berdiri dan berjalan lagi. Dipukulnya pantat gajah itu dengan cemeti yang dibawanya.

Setibanya di sungai, Ki Kerti menyu­ruh Ki Dwipangga untuk berendam. Sesaat kemudian, Ki Kerti segera memandikan ga­jah itu. Ia menggosok-gosok tubuh ga­jah tersebut dengan daun kelapa supaya lumpur-lumpur yang melekat cepat hilang. Setelah bersih, gajah itu segera dibawa pulang oleh Ki Kerti menuju kandangnya.

"Kang, gajahnya sudah saya mandi­kan sampai bersih", lapor Ki Kerti kepada Ki Sapa Wira.

"Ya, terima kasih. Aku harap besok pa­gi kamu pergi memandikan Ki Dwi­pang­ga lagi. Setiap hari gajah itu harus dimandikan, apalagi pada saat musim kawin begini", jawab Ki Sapa Wira sambil menghisap ce­rutunya.

Keesokan harinya, pagi-pagi Ki Kerti mendatangi rumah Ki Sapa Wira un­­tuk men­­jemput Ki Dwipangga. Pagi itu langit kelihatan mendung, namun tidak ada tanda-tanda hujan akan turun. Segera Ki Kerti Pe­jok membawa Ki Dwipangga menuju su­ngai. Kali ini Ki Kerti Pejok agak kecewa ka­re­na sungai tempat memandikan gajah tersebut ke­li­hat­an dangkal. Mana mungkin dapat memandi­kan gajah jika untuk berendam pun tidak bisa, pikir Ki Kerti Pejok. Kemudian ia mem­bawa Ki Dwipangga ke arah hilir untuk mencari genangan sungai yang dalam.

"Ah, di sini kelihatannya lebih dalam. Aku akan memandikan Ki Dwipangga di sini saja. Dasar, Kanjeng Sultan orang yang aneh. Sungai sekecil ini kok digunakan un­tuk memandikan gajah", gerutu Ki Kerti Pe­jok sambil terus menggosok punggung Ki Dwipangga. Belum habis Ki Kerti Pejok meng­­gerutu, tiba-tiba banjir bandang da­tang dari arah hulu.

"Hap....Hap...Tulung...Tuluuung...", teriak Ki Kerti Pejok sambil melambai-lambaikan tangannya. Ia hanyut dan teng­gelam bersama Ki Dwipangga hingga ke Laut Selatan. Keduanya pun mati kare­na tidak ada seorang pun yang dapat me­nolongnya.

Untuk mengingat peristiwa tersebut, Sultan Agung menamakan sungai itu Kali Gajah Wong, karena kali itu telah meng­hanyutkan gajah dan wong. Sungai itu terletak di sebelah timur kota Yogyakarta. Konon, tempat Ki Kerti memandikan gajah itu saat ini bersebelahan dengan kebun binatang Gembiraloka.

PoZt!Ng by FathiN
Cerita Rakyat Kali Gajahwong

Label:


Baca Selengkapnya di Sini!!!!
posted by Wisma Kalingga Community @ 10.10   0 comments
Tentang R-25

Pemilik: Simax-Jiyah
Home: Jl Ambarukmo; Rt.11/04; CT Depok Sleman Yogyakarta 55281
Mau tahu R25 klik di sini
Jo Kelalen sing Kiye
Bagi temen2 R25 yg ingin mempublikasikan tulisan/gambar silahkan diposting sendiri, minta email dan paswordnya sama McAnam (admin 1) atau sama Fatin (Admin2). Silahkan posting dan berkomentar, jangan takut salah, santai aja kan ada admin :-)
Kategori
Postingan Sebelumnya
Arsip
Woro-woro
Cah R-25 kudu pangerten siji marang liyane. Nek ono sing lagi butuhake bantuan yo dibantu. Siji maneh, Cah R25 kudu ngikuti peraturan sing wis ditetepke lewat rembugan bareng. Nek durung duwe bojo yo ojo gowo wadon nang kamar; nek ra entuk go pemanas (dispengser dll) yo ojo nganggo, latihan hemat listrik ngono lo dab
Friendster&Penghuni R-25
Situs Blog Cah R-25
Buku Tamu



ShoutMix chat widget
Jumlah Pengunjung


Wisma Kalingga United

↑ Grab this Headline Animator

© Wisma Kalingga United